Bagaimana sebenarnya format yang bijak dalam membangun bersama dalam kelompok?. Bagaimana memfasilitasi kebutuhan bersama anggotanya? Siapa yang diuntungkan dalam proses membangun ini?
Itu semua adalah pertanyaan yang akan selalu menjadi bayangan kita, saat kita terlibat dan berada ditengah- tengah sebuah keinginan untuk melangkah bersama. Sebelum berhenti di titik yang ingin kita capai, mungkin kita harus balik ke awal.. kenapa kita harus membangun dan dilakukan dengan cara bersama- sama?. Kalau bentuk bersama ini kita anggap sebuah perusahaan, nanti akan muncul siapa yang menjadi bos-nya?. Saya pikir kata ‘bos’ harus disingkirkan jauh-jauh dari proses ini. Saya lebih setuju kalau bentuk kerjasama ini adalah sebuah bentuk yang non formal yang strukturnya bersifat fleksibel dan cair, dan harus ada kesetaraan posisi.
Apakah benar seperti inikah yang kita inginkan?. Satu hal yang pasti dan mungkin sangat susah untuk dirubah adalah kita adalah sejumlah individu seniman yang kebetulan satu kelas. Tahu sendiri kan? Seniman punya ego.. dan sampai sekarang saya belum menemukan satu contoh yang tepat, yang dapat meruntuhkan anggapan ini. Anggapan bahwa seniman adalah individu yang susah untuk diajak bekerja sama, terutama bekerja sama diantara seniman. Hal ini yang saya lihat di seni rupa, tetapai akan tidak terbukti kalau di seni pertunjukan. Tetapi kalau satu seniman bekerja sama dengan pihak yang non seniman.. pasti bisa berjalan mulus. Memang sih.. kita, seniman, kalau contoh yang dipakai dalam sebuah mata rantai produksi, kita adalah salah satu mata rantai itu sendiri.
Mungkin butuh sebuah kiat khusus dan hati yang lapang ketika kita bekerja sama dengan seniman. Semua masalah pasti ada jalan keluar, jangan pesimis dulu. Kalau orang jawa bilang ” … pasti ono sisik melike”, dan yang pasti kita mesti sabar untuk mengurai kekusutan ini. Mungkin persamaan niat dan keinginan adalah yang dapat dijadikan sebuah kunci untuk melangkah bersama. Ketika ada kebutuhan yang sama, tentunya arah yang ingin dicapai akan lebih mudah. Apa iya.. semua yang terlibat untuk berjalan bersama ini punya keinginan yang sama?
Pertanyaan itu sebenarnya yang harus dijawab pertama kali. Kalau diukur.. semua punya ukuran masing-masing, yang seringkali berbeda, ketika ukuran sendiri dipakai untuk mengukur orang lain. Tulisan ini bukan dibuat untuk mengecilkan niat kita untuk melangkah bersama. Hanya sebuah wacana yang dapat mengingatkan kita. Banyak hal atau ide yang lahir diluar forum yang dicetuskan secara individu. Sangat disayangkan kalau hal-hal seperti ini hilang menguap tanpa terfasilitasi. Apakah karena kita kurang berani mengungkapkan keinginan didalam forum atau karena sebab yang lain. Sepengetahuan saya pribadi hal seperti ini sering terjadi.
Sekarang.. bagaimana diantara kita secara aktif dan mengingatkan bahwa kita harus melangkah bersama, tumbuh dan berproses bersama. Bukan jamannya lagi kita diam dan berpangku tangan saja. Bukan hanya saling mengandalkan saja, sekecil peran yang kita berikan akan tetap berarti untuk sebuah kebersamaan. Kita harus optimis dan berpikiran positif.. apapun yang kita lakukan dengan baik akan kembali baik bagi diri kita. Ayo.. teman-teman yang aktif dong!!!. (ptw).
Jumat, 25 Desember 2009
Menyatukan tulang yang berserakan..
Sebuah catatan dalam reuni Legenda’92 pertama. Ledok Sambi, Pakem Yogyakarta 19-20 Desember 2009.
Siapa sih yang butuh reuni?.. ini adalah kalimat tanya yang selalu muncul dalam benak saya ketika menemui hambatan dalam mengkordinasi teman – teman. Sudah 17 tahun lamanya sejak kami sama- sama menjadi mahasiswa baru di kelas lukis angkatan 1992, di ISI Yogyakarta. Posisi masing-masing sudah berubah, baik berubah secara geografis maupun berubah secara profesi. Dari jumlah anggota kelas yang tercatat tidak semuanya berprofesi sebagai seniman. Ada yang jadi pengajar, pengusaha, desainer, dan sebagainya.
Kalau masih menjadi seniman dan tinggal dijogja adalah perkara gampang. Karena disetiap pembukaan pameran kami masih sering bertemu dan bertegur sapa, meskipun kita tahu diJogja banyak kubu dan kelompok. Tetapi ini bukan masalah besar masih dalam radius yang bisa dijangkau. Kemudian yang menjadi susah adalah mengkordinasi teman- teman yang ada diluar Jogja. Telepon atau telepon genggam akhirnya menjadi sarana yang paling sempurna untuk menjawab ini. Tinggal ketok tular… semua nomor teman- teman sekelas bisa segera dikumpulkan, dan dicatat.
Waktu… ya, ini juga menjadi pertimbangan yang cukup penting, kita tahu diusia yang sekarang kita tidak menjadi mahasiswa lagi, sudah bekerja dan berkeluarga. Mobilitas kita sedikit menjadi terbatas dan butuh waktu khusus untuk meluangkan diri. Pekerjaan dan keluarga tetap menjadi prioritas untuk sebagai pertimbangan. Menjawab ini semua kenapa kami memilih bentuk family gathering sebagai format reuninya, tidak secara langsung kemudian menjadi sebuah acara pameran seni. Format ini menjadi jalan tengah dengan kebutuhan reuni yang ada. Anggota keluarga bisa ikut, dapat sebagai media untuk berlibur juga.
Niat untuk bertemu.. aah ini soal yang paling susah diantara yang diatas tadi, seberapa butuh dari masing- masing kami ini punya keinginan untuk bertemu. Kita sudah sama- sama tahu seberapa besar kesibukan kita masing- masing. Entah ini dapat berupa romantisme atau yang lain. Dari jumlah yang tercatat dan kemudian yang dapat hadir dalam reuni kemarin, sebenarnya sudah masuk kuota untuk sebuah forum. Hanya beberapa teman yang tidak bisa hadir kerena sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Bagi saya pribadi ini cukup disayangkan sebenarnya. Bukan apa- apa.. satu hal yang cukup membuat saya optimis, mungkin di reuni atau acara gathering yang selanjutnya, pasti akan full team.. adalah, kita tidak hidup sendirian didunia ini, kalau awalanya kita seperti tulang yang menyatu dan kemudian berpisah, suatu saat akan pasti kembali berkumpul dan menyatu lagi. (ptw).
Siapa sih yang butuh reuni?.. ini adalah kalimat tanya yang selalu muncul dalam benak saya ketika menemui hambatan dalam mengkordinasi teman – teman. Sudah 17 tahun lamanya sejak kami sama- sama menjadi mahasiswa baru di kelas lukis angkatan 1992, di ISI Yogyakarta. Posisi masing-masing sudah berubah, baik berubah secara geografis maupun berubah secara profesi. Dari jumlah anggota kelas yang tercatat tidak semuanya berprofesi sebagai seniman. Ada yang jadi pengajar, pengusaha, desainer, dan sebagainya.
Kalau masih menjadi seniman dan tinggal dijogja adalah perkara gampang. Karena disetiap pembukaan pameran kami masih sering bertemu dan bertegur sapa, meskipun kita tahu diJogja banyak kubu dan kelompok. Tetapi ini bukan masalah besar masih dalam radius yang bisa dijangkau. Kemudian yang menjadi susah adalah mengkordinasi teman- teman yang ada diluar Jogja. Telepon atau telepon genggam akhirnya menjadi sarana yang paling sempurna untuk menjawab ini. Tinggal ketok tular… semua nomor teman- teman sekelas bisa segera dikumpulkan, dan dicatat.
Waktu… ya, ini juga menjadi pertimbangan yang cukup penting, kita tahu diusia yang sekarang kita tidak menjadi mahasiswa lagi, sudah bekerja dan berkeluarga. Mobilitas kita sedikit menjadi terbatas dan butuh waktu khusus untuk meluangkan diri. Pekerjaan dan keluarga tetap menjadi prioritas untuk sebagai pertimbangan. Menjawab ini semua kenapa kami memilih bentuk family gathering sebagai format reuninya, tidak secara langsung kemudian menjadi sebuah acara pameran seni. Format ini menjadi jalan tengah dengan kebutuhan reuni yang ada. Anggota keluarga bisa ikut, dapat sebagai media untuk berlibur juga.
Niat untuk bertemu.. aah ini soal yang paling susah diantara yang diatas tadi, seberapa butuh dari masing- masing kami ini punya keinginan untuk bertemu. Kita sudah sama- sama tahu seberapa besar kesibukan kita masing- masing. Entah ini dapat berupa romantisme atau yang lain. Dari jumlah yang tercatat dan kemudian yang dapat hadir dalam reuni kemarin, sebenarnya sudah masuk kuota untuk sebuah forum. Hanya beberapa teman yang tidak bisa hadir kerena sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Bagi saya pribadi ini cukup disayangkan sebenarnya. Bukan apa- apa.. satu hal yang cukup membuat saya optimis, mungkin di reuni atau acara gathering yang selanjutnya, pasti akan full team.. adalah, kita tidak hidup sendirian didunia ini, kalau awalanya kita seperti tulang yang menyatu dan kemudian berpisah, suatu saat akan pasti kembali berkumpul dan menyatu lagi. (ptw).
Kamis, 24 Desember 2009
Pameran pertama LEGENDA 92 di Purna Budaya, Bulaksumur, Yogyakarta



Dari kiri ke kanan: Yerry padang, Popok Tri Wahyudi, Supomo, Heri Kuncoro, Danar, Diah Yulianti, S Teddy D, Iwan Wijono Putro, Iskandarsyah, Weye Haryanto, Afnan Malay
Kemudian, Pande Ketut Taman, I Made MAngku, I Made Toris Mahendra. Berikutnya,Fajaral Kurniadi, Didik Nurhadi, Nugrahanto Widodo, Nugro Wantoro, Dipo Andy, Aan arif
Langganan:
Postingan (Atom)