
Agenda Kebudayaan Gusdurisme
PERINGATAN 100 HARI WAFATNYA GUS DUR
oleh : Afnan Malay
Mistifikasi negara pada proses awal kebaradaannya merupakan gejala umum di banyak tempat. Implikasi paling sederhana dari paradigma seperti itu, menempatkan posisi penguasa sebagai pelaksan beroperasinya negara menjadi sedemikian sentral.Gagasan pluralisme dalam ranah politik (bernegara) dirancang untuk mengritik sentarlsitik-sakralitas negara.Karena itu, ide tentang demistifikasi negara memainkan peran penting.
Fakta pluralisme budaya yang terhimpun dalam sebuah negara yang pokok soalnya dapat dilacak, misalnya, lewat etnisitas (di negara kita yang tidak kalah krusial adalah isu agama).Tanpa pengelolaan yang tepat etnisitas-ras-agama rawan memancing variasi konflik yang formatnya berbentuk ekslusivisme, intoleransi, dan terkadang status sosial yang tidak berimbang.
Negara kita, sejak bermula, sebenarnya telah menyiapkan katalisator.Secara eksplisit negara menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi perekat relasional sekaligus kode interaksional bagi warganya. Sekalipun kenyataan tersebut merupakan rujukan sahih eksistensi (nilai) pluralisme yang kita anut bersama, pada level praktik keseharian operasionalisasinya tidak dengan sendirinya berjalan minus hambatan.
Karena itu, terasakan benar kontribusi signifikan yang telah disumbangkan Gur Dur adalah mendermakan dirinya sebagai anak panah pluralisme yang otentik.Ontentisitas pluralisme Gus Dur --yang negarawan, agamawan, budayawan, aktivis sosial-HAM, dan politisi-- terletak pada kesungguhannya membela kelompok-kelompok yang menuntut kesetaraan sesama warga negara. Kredo pluralisme Gus Dur teraktualisasikan melalui sikapnya yang senantiasa menepis ‘kerumitan interaksional’ yang nota bene menghambat keragaman: Gitu Aja Kok Repot!
Tidak jarang Gus Dur mengusung aksi pluralisme sendirian dengan antusiasme yang penuh: menyuarakan kesetaraan, menepis intoleransi, menghargai dialogis, karenanya mengedepankan tiap upaya nirkekerasan. Dan kerja demistifikasi dipraktikkan Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden: negara bukanlah hal yang tidak tersentuh. Itu dilakukannya, agar menghindarkan negara masuk terlalu dalam mengintervensi ‘ruang hidup’ warga negara (misalnya, kasus pendirian rumah ibadah).
Aksi-aksi Gus Dur, persona yang kaya warna, hadir pada gelangang kehidupan yang luas (agama, budaya, sosial, dan politik) tentulah medapat atensi, responsi, dan apresiasi kalangan yang beragam: tidak terkecuali para perupa. Tentu saja, melalui pengalaman masing-masing --baik langsung bersinggungan ataupun tidak-- pastilah perupa bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari persoalan penegakan (perjalanan) bangunan pluralisme yang terus menerus kita kerjakan.
Agaknya, pluralisme otentik yang operasional, merupakan warisan yang ditinggalkan Gus Dur kepada kita. Pluralisme yang selama ini bisa jadi kita perlakukan separuh hati: tidak jarang dalam praktiknya terasa imajiner.
Karena itulah, responsi para perupa yang ikut serta dalam pameran ini melalui bahasa visual yang beragam akan memperkaya kita untuk menyelami makna pluralisme - kata yang kini mungkin baru kita sadari (nyaris) identik dengan Gus Dur.
Tujuan
Berdasarkan pengantar ringkas di atas, pameran kali ini berkehendak untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam sekaligus sebagai perhormatan kepada Sang Pluralis Otentik, Gus Dur: yang dirangkai sehubungan dengan Peringatan 100 Hari Kepergiannya.
Pilihan bentuk peringatan berupa pameran senirupa (visual dan performance) serta orasi-diskusi budaya merupakan keniscayaan bagi Langgeng Gallery yang sudah berulang kali terlibat memfasilitasi sejumlah egenda kebudayaan.
Pada konteks itu, agaknya, format peringatan yang digagas ini lebih memudahkan kita (seniman dan publik) untuk memberikan apresiasi sekaligus memberikan perspektif terhadap makna pluralisme yang semasa hidupnya gigih diperjuangkan Gus Dur.
Acara ini akan menggelar karya-karya seni rupa (visual dan performance) dengan imbuhan orasi-diskusi budaya. Secara praktis, setiap perupa yang diajak serta dalam pameran ini dipersilakan mengapresiasi dan menafsir tema tersebut sesuai dengan pengalaman personal-sosial mereka.
Selanjutnya, mereka diharapkan dapat mengejawantahkan hasil apresiasi dan penafsiran itu secara konkret dalam bahasa visual yang berkesesuaian dengan kecenderungan bentuk, teknik, dan ide berkarya seni rupa yang mereka geluti selama ini.
Dari situ dapat dibayangkan mereka mampu memberikan refleksi dan perspektif banding yang beragam kepada publik seni rupa dalam melihat dan menyikapi tema tersebut sebagai bukan saja persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia.
Peserta
Acara ini mengikutsertakan para perupa yang tinggal dan berkarya di Jogja, Jakarta, dan Bandung.
Perupa yang diundang adalah Acep Zamzam Noor, Agus Suwage, Dadang Christanto, Arahmaiani, Bunga Jeruk, Didik Nurhadi, Dipo Andy, Dolorosa Sinaga, FX Harsono, Gus Mus, Yerry Padang, Jumaldi Alfi, Kadafi Kusuma, Laksmi Sithoresmi, Aan Arief, Nasirun, Paul Kadarisman, Pande Ketut Taman, Popok Tri Wahyudi, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, Theresia Agustina Sitompul, Wilman Syahnur, Ucup TP, Surya Wirawan, Nyoman Masriadi, Heri Dono, Jompet, Djoko Pekik, Nadia Bamadaj, Tita Rubi, Mella Jaarsma, Handiwirman, Agapetus K, dll.
Selain itu, Bambang Toko dan Arie Dyanto sebagai kurator pembuatan mural yang melibatkan Nano Warsono, Hahan, Toto, Krisna W, Bendung, Sulung, Codit, Farid, Wedhar, Love Hate Love, Sony Irawan, dll… Sedangkan performance mengikutsertakan 4 perupa: Arahmaiani, Bonyong Munni Ardhi, Hamzrut, Lugas Syllabus. Serta kegiatan pendukung yang dipandu Tanto Mendut melibatkan Goenawan Mohamad, Mardiyanto, Romo Sindhunata, Jemek Supardi, Marjuki, Eep Syafulloh Fatah, Gus Mus, Halim HD, Karim Raslan, Ismail Sukribo, Drs Susilo “denBaguse” Nugroho, Triyanto Tiwikromo, Wayang Kampung Tetangga dan yang lain (menyusul). MC: Sutanto, Naomi, dan Butet K