Rabu, 14 April 2010

"Gus Durisme"





Agenda Kebudayaan Gusdurisme

PERINGATAN 100 HARI WAFATNYA GUS DUR

oleh : Afnan Malay

Mistifikasi negara pada proses awal kebaradaannya merupakan gejala umum di banyak tempat. Implikasi paling sederhana dari paradigma seperti itu, menempatkan posisi penguasa sebagai pelaksan beroperasinya negara menjadi sedemikian sentral.Gagasan pluralisme dalam ranah politik (bernegara) dirancang untuk mengritik sentarlsitik-sakralitas negara.Karena itu, ide tentang demistifikasi negara memainkan peran penting.

Fakta pluralisme budaya yang terhimpun dalam sebuah negara yang pokok soalnya dapat dilacak, misalnya, lewat etnisitas (di negara kita yang tidak kalah krusial adalah isu agama).Tanpa pengelolaan yang tepat etnisitas-ras-agama rawan memancing variasi konflik yang formatnya berbentuk ekslusivisme, intoleransi, dan terkadang status sosial yang tidak berimbang.

Negara kita, sejak bermula, sebenarnya telah menyiapkan katalisator.Secara eksplisit negara menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai filosofi perekat relasional sekaligus kode interaksional bagi warganya. Sekalipun kenyataan tersebut merupakan rujukan sahih eksistensi (nilai) pluralisme yang kita anut bersama, pada level praktik keseharian operasionalisasinya tidak dengan sendirinya berjalan minus hambatan.

Karena itu, terasakan benar kontribusi signifikan yang telah disumbangkan Gur Dur adalah mendermakan dirinya sebagai anak panah pluralisme yang otentik.Ontentisitas pluralisme Gus Dur --yang negarawan, agamawan, budayawan, aktivis sosial-HAM, dan politisi-- terletak pada kesungguhannya membela kelompok-kelompok yang menuntut kesetaraan sesama warga negara. Kredo pluralisme Gus Dur teraktualisasikan melalui sikapnya yang senantiasa menepis ‘kerumitan interaksional’ yang nota bene menghambat keragaman: Gitu Aja Kok Repot!

Tidak jarang Gus Dur mengusung aksi pluralisme sendirian dengan antusiasme yang penuh: menyuarakan kesetaraan, menepis intoleransi, menghargai dialogis, karenanya mengedepankan tiap upaya nirkekerasan. Dan kerja demistifikasi dipraktikkan Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden: negara bukanlah hal yang tidak tersentuh. Itu dilakukannya, agar menghindarkan negara masuk terlalu dalam mengintervensi ‘ruang hidup’ warga negara (misalnya, kasus pendirian rumah ibadah).

Aksi-aksi Gus Dur, persona yang kaya warna, hadir pada gelangang kehidupan yang luas (agama, budaya, sosial, dan politik) tentulah medapat atensi, responsi, dan apresiasi kalangan yang beragam: tidak terkecuali para perupa. Tentu saja, melalui pengalaman masing-masing --baik langsung bersinggungan ataupun tidak-- pastilah perupa bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari persoalan penegakan (perjalanan) bangunan pluralisme yang terus menerus kita kerjakan.

Agaknya, pluralisme otentik yang operasional, merupakan warisan yang ditinggalkan Gus Dur kepada kita. Pluralisme yang selama ini bisa jadi kita perlakukan separuh hati: tidak jarang dalam praktiknya terasa imajiner.

Karena itulah, responsi para perupa yang ikut serta dalam pameran ini melalui bahasa visual yang beragam akan memperkaya kita untuk menyelami makna pluralisme - kata yang kini mungkin baru kita sadari (nyaris) identik dengan Gus Dur.

Tujuan

Berdasarkan pengantar ringkas di atas, pameran kali ini berkehendak untuk mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam sekaligus sebagai perhormatan kepada Sang Pluralis Otentik, Gus Dur: yang dirangkai sehubungan dengan Peringatan 100 Hari Kepergiannya.

Pilihan bentuk peringatan berupa pameran senirupa (visual dan performance) serta orasi-diskusi budaya merupakan keniscayaan bagi Langgeng Gallery yang sudah berulang kali terlibat memfasilitasi sejumlah egenda kebudayaan.

Pada konteks itu, agaknya, format peringatan yang digagas ini lebih memudahkan kita (seniman dan publik) untuk memberikan apresiasi sekaligus memberikan perspektif terhadap makna pluralisme yang semasa hidupnya gigih diperjuangkan Gus Dur.

Acara ini akan menggelar karya-karya seni rupa (visual dan performance) dengan imbuhan orasi-diskusi budaya. Secara praktis, setiap perupa yang diajak serta dalam pameran ini dipersilakan mengapresiasi dan menafsir tema tersebut sesuai dengan pengalaman personal-sosial mereka.

Selanjutnya, mereka diharapkan dapat mengejawantahkan hasil apresiasi dan penafsiran itu secara konkret dalam bahasa visual yang berkesesuaian dengan kecenderungan bentuk, teknik, dan ide berkarya seni rupa yang mereka geluti selama ini.

Dari situ dapat dibayangkan mereka mampu memberikan refleksi dan perspektif banding yang beragam kepada publik seni rupa dalam melihat dan menyikapi tema tersebut sebagai bukan saja persoalan estetika, tapi juga persoalan eksistensial manusia.

Peserta

Acara ini mengikutsertakan para perupa yang tinggal dan berkarya di Jogja, Jakarta, dan Bandung.

Perupa yang diundang adalah Acep Zamzam Noor, Agus Suwage, Dadang Christanto, Arahmaiani, Bunga Jeruk, Didik Nurhadi, Dipo Andy, Dolorosa Sinaga, FX Harsono, Gus Mus, Yerry Padang, Jumaldi Alfi, Kadafi Kusuma, Laksmi Sithoresmi, Aan Arief, Nasirun, Paul Kadarisman, Pande Ketut Taman, Popok Tri Wahyudi, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, Theresia Agustina Sitompul, Wilman Syahnur, Ucup TP, Surya Wirawan, Nyoman Masriadi, Heri Dono, Jompet, Djoko Pekik, Nadia Bamadaj, Tita Rubi, Mella Jaarsma, Handiwirman, Agapetus K, dll.

Selain itu, Bambang Toko dan Arie Dyanto sebagai kurator pembuatan mural yang melibatkan Nano Warsono, Hahan, Toto, Krisna W, Bendung, Sulung, Codit, Farid, Wedhar, Love Hate Love, Sony Irawan, dll… Sedangkan performance mengikutsertakan 4 perupa: Arahmaiani, Bonyong Munni Ardhi, Hamzrut, Lugas Syllabus. Serta kegiatan pendukung yang dipandu Tanto Mendut melibatkan Goenawan Mohamad, Mardiyanto, Romo Sindhunata, Jemek Supardi, Marjuki, Eep Syafulloh Fatah, Gus Mus, Halim HD, Karim Raslan, Ismail Sukribo, Drs Susilo “denBaguse” Nugroho, Triyanto Tiwikromo, Wayang Kampung Tetangga dan yang lain (menyusul). MC: Sutanto, Naomi, dan Butet K

Kamis, 01 April 2010

Sesuatu yang tertinggal di belakang..


ni.. 3 teman kita sesaat muda dulu :), S. Teddy D, Dipo Andi dan fajaral..




Foto ini saya dapatkan dari Dipo Andi 2,3 hari yang lalu.. sepertinya ini saat kita masih disemester 3 atau 4. Rambut sudah mulai panjang, setelah habis tercukur disaat ospek, saat awal menjadi mahasiswa. (ptw).

Jumat, 26 Maret 2010

Frida Kahlo Menghela Kadafi

[ Minggu, 14 Maret 2010 ]

NADI Gallery, Jakarta, 2-17 Maret 2010, mengadakan pameran tunggal Kadafi Gandhi Kusuma bertajuk Membaca Frida Kahlo # 2. Sebanyak 16 lukisan apropriasi dipajang -yang berasal dari foto pribadi atau gubahan atas lukisan Frida- dominasi warna kusam yang memikat. Perhelatan dengan tema yang persis sama pernah dilakukan Nadi pada 2001. Apa yang istimewa dari pameran kali ini?

Pastilah bukan penggalan kisah kehidupan Frida (1905-1954), pelukis Meksiko istri Diego Rivera, yang sohor itu. Tentu membicarakan Frida, perempuan yang memiliki ''banyak sisi untuk dipercakapkan'', seperti yang diungkapkan penulis Martha Zamora (1990), mampu menguras perhatian kita. Tetapi, bagi sebagian perupa yang pernah sama-sama mengenyam pendidikan seni rupa, yang menjadi ''gunjingan heboh'' adalah sang perupa yang mengusung Frida: mereka biasa menyapanya Dafi.

Dafi, lelaki Jember kelahiran 12 Juli 1974, itu terbilang sangat dini berkenalan dengan lingkungan dunia lukis ''yang akademik''. Dafi secara khusus dituntun ayahnya untuk berguru kepada Pak Ketut (saat kelas 5 SD) dan Pak Soeroso (ketika kelas 2 SMP), murid pelukis realis Dullah. Puthut E.A. yang menulis dalam katalog pameran menyebutkan, ketika kanak-kanak, Dafi lebih terkesima visual daripada teks-teks buku pelajaran yang seharusnya dia pelajari.

Beberapa waktu sebelum menyiapkan lukisan-lukisan tentang Frida, kritikus seni rupa Wicaksono Adi yang mengenal Dafi belasan tahun silam pernah memberikan penilaian. Menurut Adi, dari beberapa perupa kawan-kawan seangkatan Dafi (1992) di Jurusan Lukis ISI, Jogjakarta, yang kini mendapatkan tempat dalam peta seni rupa kita, kehadiran Dafi sangat ditunggu-tunggu.

Kawan-kawan sekelas Dafi yang lebih dulu menyodok khasanah seni rupa, antara lain, Didik Nurhadi, Diah Yulianti, Popok Triwahyudi, Iwan Wijono, S. Teddy D., Mahendra Mangku, Pande Ketut Taman, Made Sumadiyasa, dan Dipo Andy.

Adi, komparator perupa Jogja-Bandung, menyebut modal dasar Dafi adalah teknis realisnya yang sangat kuat. Karena itu, Adi tidak heran, ketika kuliah, eksplorasi Dafi ke ranah ekspresionisme, surealisme, dan abstrak terbilang berhasil. Persoalan Dafi dalam meramaikan seni rupa kita hanyalah ihwal intensitasnya dalam ''bertarung''.

Setelah puluhan kali terlibat pameran bersama sejak 1992, Dafi seakan menemukan jalannya: pameran tunggal pertama di galeri yang prestisius. Karena itu, perupa seperti Stefan Buana, Kokok P. Sancoko, dan Rain Rasidi (kurator dan dosen ISI Jogja) menyambut hangat pertanda baik yang mulai ditempuh Dafi, kawan mereka.

Dafi, selain punya stamina yang cukup mumpuni dalam berkarya -karena telah menundukkan kendala teknis sejak usia dini-, terbilang mampu menyelesaikan garapannya dalam waktu yang tidak lama. Pada pamerannya kali ini, Dafi ''menggubah'' Frida dan Diego yang bertengger di atas tengkorak masing-masing dalam dua penel (Frida # 16).







Lalu,


lukisan Frida 1946 Wounded Deer (A Little Deer) -rusa berkepala Frida- diubah Dafi dengan menghilangkan sembilan anak panah yang menancap serta tangkai dahan yang patah. Rusa Dafi (Frida # 6) dibuat lebih close-up. Rusa dalam posisi tengah berhenti, tatapannya lurus penuh awas dan menghadirkan ''kesunyian yang bertahan''. Rusa Frida sedang memacu lari dengan sedikit kecepatan yang tersisa karena tubuhnya dihujani panah: dramatis-melankolis.


Pada Frida # 1, Dafi mengapropriasi lukisan diri Frida tahun 1944 (My Parrots and I) yang kedua tangannya menggamit dua ekor beo dan dua beo yang lain hinggap pada kedua sisi bahunya. Frida menjadi Monalisa berwajah lancip (hidung, bibir, dagu). Sementara itu, keempat burung beo diganti gagak hitam dalam posisi yang sama. Frida # 7 memodifikasi lukisan Frida tahun 1937, Self-Portrait Dedicated to Leon Trosky.








Sedangkan pada Frida # 4, Dafi mengubah lukisan pelukis potret John Singer Sargeant (1856-1925) yang dikaguminya. Objek itu berupa seorang lelaki berdasi yang sedang duduk, oleh Dafi diubah menjadi Frida. Selebihnya, dalam lukisan akrilik yang rata-rata berukuran sekitar 150 x 200 cm, Dafi melakukan visualisasi foto-foto Frida (dengan suami atau kerabatnya). Satu di antaranya yang didominasi warna merah adalah potret diri Mao Tje Tung berdiri berjajar dengan kawannya (diubah Dafi menjadi Frida).

Di sela-sela pembukaan pameran, kurator senior Enin Supriyanto menanyakan kepada Dafi sepotong pertanyaan sederhana berkaitan dengan tema: mengapa (foto-foto) Frida Kahlo? Dafi menjawab pendek, foto mempunyai ''realitas media'' sendiri. Apalagi, di luar ketenarannya sebagai perupa, sosok Frida juga merupakan ''realitas media'' yang tidak basi untuk direpetisi.

Pertanyaan yang semangatnya sebangun dengan sodoran Enin kepada Dafi bisa jadi diajukan pula -entah oleh siapa- kepada pemilik Nadi Gallery Biantoro Santoso: kenapa Kadafi Gandhi Kusuma? Tetapi, tentu saja, Bian tidak akan menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Atau, dia dapat melakukan dengan bahasa yang tidak ingin menggurui sekaligus merampas apresiasi mereka yang bertanya, dengan cara: lihat sendiri, karya-karya Dafi akan menjawabnya lugas.

Di luar logika umum bahwa Dafi mengusung Frida Kahlo merupakan siasat untuk meyakinkan galeri, apalagi Nadi Gallery yang pernah membuat pameran sama dengan sejumlah perupa agaknya perlu perspektif lain untuk membaca pameran kali ini. Saya tertarik mengatakan demikian sebagai langkah awal intensitas Dafi dalam dunia seni rupa kita: dia sepertinya mendapatkan ''kehormatan dihela'' Frida Kahlo.

Agaknya, semua menjadi pantas bila kita tarik serentangan garis korelatif: Nadi Gallery, Frida Kahlo, dan Kadafi Gandhi Kusuma. Tentu saja yang tersisa adalah pembuktian oleh Dafi sendiri. Nadi telah membuktikan reputasinya dalam peta seni rupa kita. Frida adalah perupa yang ''tidak pernah habis'' untuk dipercakapkan.

Akhirnya berpulang kepada Dafi untuk mempertaruhkan kesenimannya: perkenalannya yang dini dengan dunia kesenangan yang digelutinya kini; kemahirannya menggoresi kertas dan kanvas yang diakui kawan-kawannya; dan kesediaan galeri yang memiliki reputasi menggelar pameran tunggalnya. Fakta itu tidak dimiliki banyak perupa lain, tetapi mereka -lewat karya-karyanya- menjadi percakapan .

Penantian kawan-kawannya sesama perupa -termasuk dorongan yang senantiasa terjaga, misalnya yang dilakukan S. Teddy D. dan Dipo Andy- tidak lagi menemukan kebekuan teka-teki: Dafi pameran tunggal. Kini perupa dari Jember itu, yang setia menghadiri wejangan Emha Ainun Nadjib, yang sebagian di antaranya menginspirasi kesenimanannya, ''sudah mencair''. Tidak ada lagi yang menunggu, tak diperlukan pula kerumunan para pengantar. Dafi harus terus bertarung memecahkan teka-tekinya sendiri. (*)

*) Afnan Malay , pemerhati seni rupa tinggal di Jogja
(ptw taken from jawapos and nadigallery)

Sabtu, 20 Maret 2010

Popok Tri Wahyudi join in the group exhibition " Comical Brother" at Indonesia National Gallery, Jakarta


Curatorial

The Comical Brothers”

Pada 1995-an di Yogyakarta muncul Core Comic atau sejenis komik kompilasi yang diprakasai oleh beberapa mahasiswa seni rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, antara lain; Sigit Pius, Ade Darmawan, Bintang Hanggono, Popok Triwahyudi, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Samuel Indratma, Ari Dyanto, Sofwan Zarkasi (Kipli), dan lain-lain. Tak lama kemudian, Core Comic langsung banyak dikenal orang setelah aktivitas mereka membuat komik itu disebar di Pasar Seni ITB’95, bahkan sempat dipublikasikan oleh sebuah media nasional (TEMPO) sebagai komik underground (komik indie).

Namun demikian, di beberapa kota besar lainnya atmosfir komik sudah muncul lebih duluan, yakni sekitar tahun 1992-an, misalnya seperti QN di Bandung dan Sektekomik di Jakarta. Sementara itu, pada 1994-an, komik Bad Times yang dibuat oleh Athonk (bernama lengkap Sapto Raharjo), Si Pure Black Tattoo sudah diproduksi dengan model foto-copian di Jogja yang pendistribusiannya sampai ke USA, UK dan Australia. Kendati demikian, Core Comic lah yang dianggap menjadi pemicu lahirnya scene indie di Jogja, bahkan kegiatan ngomik mereka itu sempat menerbitkan beberapa seri komik kompilasi, seperti Komik Game, Komik Selingkuh, Komik Anjing, dan terbitan yang terakhir Komik Kuman).

Seperti yang sudah disinggung di atas, para penggiat komik ini kebanyakan berangkat dari lingkungan pendidikan tinggi seni rupa, secara otomatis memiliki kebiasaan bebas berekspresi (individual) yang mengadopsi komik sebagai bagian dari medan kreatifnya. Bahkan, secara ideologis mereka menerbitkan komik indie sebagai bentuk pembedaan dan melawan hegemoni komik mainstream, bahwasanya komik adalah seperti halnya yang berjajar di sebuah rak-rak toko buku, komik hanya menjadi dunia hiburan yang penuh canda-tawa di lingkungan anak-anak. Maka, jenis Core Comic dan generasi sesudahnya salahsatu wujud kritik terhadap stigma keberhasilan sebuah komik adalah jika sudah laku ditoko, pada saat itu mereka membuat komik untuk diri mereka sendiri. Sehingga adopsi pada komik sebenarnya hanya terjadi pada reproduksi dalam toleransi jumlah yang terbatas, tidak berniat menjual sebanyak mungkin, dan adopsi pada sifat komik sebagai rangkaian gambar yang bercerita dengan membebaskan diri dari karakter atau penokohan dan cara baca linear. Penolakan terhadap konvensi komik umum ini sekaligus menolak komunitas komik yang populis, karena segmen komik ini ternyata menyusut menjadi eksklusif. Kendati demikian, sebagian besar dari mereka tidak mempedulikan booming penggemar, dan di samping itu juga tidak mempedulikan bagaimana langkah mereka mengoyak anggapan stagnasi komik Indonesia. Sebagai contoh komunitas komik Daging Tumbuh, sebuah komik indie yang hingga kini masih reguler penerbitannya, merupakan bentuk terobosan komik indie dan mendekatkan terbitannya pada bentuk wadah murni -- yang mau menampung apa saja selama itu memungkinkan untuk reproduksi dan menjadikannya sebagai 'Seni Reproduksi'.

Karena kebanyakan seniman komik indie belajar seni rupa secara formal di perguruan tinggi seni, sehingga hal itu memberikan aspek visual yang mereka kuasai melebihi kemampuan untuk menggarap narasi komiknya. Kemampuan menggambar inilah yang kemudian menjadikan jenis komik yang diproduksi menjadi penuh beragam tampilan visualnya. Oleh karena itu, istilah Art Comic, kemungkinannya lebih tepat diberikan daripada penggunaan istilah komik. Dari kemampuan mengolah unsur visual itulah kemudian berakibat positif, yaitu dengan munculnya beragam karakter dalam komik mereka, bahkan sampai dengan kemunculan tokoh-tokoh komik yang sangat membumi, sangat lekat dengan keseharian hidup mereka. Dari kecenderungan itu, beberapa orang kemudian tidak lagi mengusung tema-tema superhero, malahan yang terjadi bisa sebaliknya, yakni anti superhero. Di samping itu, tokoh dalam komik mereka bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang remeh, atau tidak dianggap penting namun ternyata mempunyai nilai filosofis yang kuat. Dengan kata lain, karakter dan gaya berkomik menjadi sebuah bahasa ekspresi baru.

Sebenarnya gejala komik lukisan bukanlah hal baru dalam ranah seni rupa di Indonesia, untuk menyebut salah satu contohnya adalah komik bikinan Delsy Sjamsunar. Beliau banyak membuat komik, lukisan dan ilustrasi untuk keperluan komersial maupun keperluan ekspresi personal. Simak lebih lanjut tulisan Hikmat Darmawan pada jurnal Cipta berikut ini;

“Komik lukisan” sebetulnya adalah sebuah istilah yang masih menyimpan musykilat. Apakah itu komik yang disusun dari lukisan-lukisan, dan bukan gambar-gambar? Ataukah itu komik yang dibuat kesadaran atau ambisi artistik seperti ambisi seni lukis? Sebuah kesadaran seni rupa dalam membuat komik? Dengan kata lain, apakah itu komik yang diperlakukan sebagai seni rupa (baik oleh pembuatnya, maupun oleh pembaca dan kritikusnya)? Ataukah itu lukisan-lukisan yang mengapropriasi bentuk-bentuk ucapan dasar komik? Ataukah itu lukisan-lukisan naratif yang jika disusun lantas membentuk cerita selayaknya komik?

Bentuk-bentuk bahasa ekspresi baru tersebut, terutama dalam medan (field) seni rupa belakangan ini niscaya semakin marak dengan terciptanya taste karya-karya serba yang komikal. Entah disadari atau tidak, pada kenyataannya para seniman banyak yang memakai unsur-unsur komikal dalam karyanya. Narasi, teks, dan gaya pop art banyak sekali digunakan -- Efek dari budaya popular dalam televisi, majalah, fashion dan tingkah laku (lifestyle) banyak dijadikan elemen dalam karya seni rupa. Di jepang misalnya, bahkan lukisan dengan gaya Manga semakin banyak dijumpai. Lukisan-lukisan ini secara gamblang menggambarkan tokoh-tokoh komik Jepang. Gejala melukis seolah menjadi kegiatan membuat ilustrasi, yang sarat dengan kemampuan menggambar. Kanvas atau media lainnya dihadapi dengan pendekatan seperti halnya kertas.

Pameran ini bertujuan untuk melihat perkembangan seni komik sehubungan dengan persinggungannya dalam medan seni rupa yang sekarang sedang marak dengan kecenderungan karya-karya yang komikal. Komik, terutama komik indie yang marak pada tahun 1995 – 2000an ternyata di kemudian hari banyak melahirkan seniman-seniman yang nyaris selalu mengangkat metode naratif dalam karyanya. Bagaimana kemudian unsur gambar, teks dan kekuatan cerita menjadi hadir pada karya-karya para seniman ini? Selanjutnya, apakah para seniman yang memakai metode naratif tadi (kebanyakan memakai media lukisan) benar-benar pernah membuat komik? Apakah metode naratif hanya dipinjam sebagai sekedar ungkapan dalam karyanya atau memang merupakan bagian dari perjalanan proses kreatifnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian yang menjadi semacam thesis dalam pameran ini. Dengan demikian, lewat pameran ini, paling tidak kita bisa melihat penampang di dua dunia: komik dan art-world. Dua dunia yang selama ini seolah-olah terpisah, meski beberapa tahun terakhir anggapan semacam tadi sudah terpatahkan. Asumsinya adalah beranjak dari kegiatan produksi komik (buku komik), yang setelahnya akan dipikirkan kegiatan post-productions nya, dan arahnya adalah ke masalah pemasaran (menjual buku komik tersebut). Nah, katakanlah bahwa dalam pameran ini menjadi semacam bentuk kegiatan post-productions, atau semacam membuat merchandise atau memindahkan bagian dari komik tersebut menjadi sebuah karya baru. Aplikasinya bisa dalam wujud lukisan, drawing, digital print, toys/patung, baik yang fungsional maupun menjadi pajangan semata. Dan, untuk membatasi kerangka kuratorial, pameran ini sengaja (hanya) mengundang para seniman yang pernah atau masih aktif membuat komik (buku komik). (ptw from andi's-gallery.com)

AFNAN MALAY (Curator) and YERRY PADANG (Artist) join in "SEVEN LIGHT" a Group exhibition at Galeri Apik, Jakarta


2 orang dalam foto ini adalah teman kita, paling kiri adalah afnan malay (curator) dan Yerry padang (seniman) sebelah kanannya.




Location:
Galeri Apik @ Plaza Radio Dalam 3 A, 1st - 4th Floor
Street:
Jalan Radio Dalam Raya (next to Cafe Excelsior or BCA, on the left side from PI), Gandaria Utara


Officiated by DR. Drs. Chairuddin Ismail, SH., MH.
(former Chief of Indonesian National Police)

Catalogue in publication: 1,000 pcs (free distribution). Artworks in display: 14. Artworks in Catalogue: 28. Total years of Artist experiences: 105.

Free Parking within the Plaza area.

The exhibition will be held until April 07, 2010.

Gallery opened Tuesday to Sunday from 10.00 am until 09.00 pm (close on Monday only).

RSVP or Further Inquiries:

Phone: +62217204723, +628121062242, +628121142005
E-mail: galeriapik@gmail.com
Web: www.galeriapik.com

e-Catalog LEGENDA 1992



Versi digital dari katalog pameran pertama kita (ptw)

"....Selamat Ulang Tahun !" Nugrahanto Wododo aka Totok Kontil

Between Lapanganijo Ijo, Hery Kuntjoro, Nugrahanto Widodo, Iwan Wijono, Afnan Malay, Wicaksono Adi, Weye Haryanto, Made Toris Mahendra, Istarto Raharjo, Nugro Wantoro, Diah Yulianti, Lucio Rb d'Arte, Denny Snod, Fajaral Kurniadi, Popok Tri Wahyudi, S Tedy Darmawan, Dipo Andy and You
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sembilan Dua March 4 at 4:14pm
hayo.. apa yang paling diingat dari nugrahanto widodo alias totok kontil ini? bagaiamana tentang dia? dan sejauha apa sepak terjangnya yang telah dilakukan... monggo dikomentari

Denny Snod March 4 at 4:18pm Reply
Opo yo..? Suwi ra komunikasi lan ra ketemu wonge njuk ra iso komentar aku. . .
Iwan Wijono March 5 at 11:50am Reply
Wonge low profile banget, yen ndadak ngomong, logate jawa timur metu tur kadang yo lucu, ngaget2-i komentare..., meneng2 ngono ternyata karya2ne yo politis pisan, saiki sibuk neng Jakarta toh, jare dadi ilustrator barang, atau sempat nerbitke buku apa gitu, pernh lihat aku, ilustrasi atau kary2 dia di buku itu..

Fajaral Kurniadi March 5 at 11:29pm Reply
Aq udah janji mo maen ke rumah kontil ... tapi sampe saat ini, belum kesampaian ...... soro ya tok, sabar ya ...

Nugrahanto Widodo March 6 at 4:33am Reply
yo komentar wae den koyo neng kelas lukis kae. buat iwan yo wis sesuk aku tak gambar srimulat wae ben ngguyu kepingkel pingkel

Nugrahanto Widodo March 6 at 4:42am Reply
gambarku iku menceritakan tentang pbangunan pasar modern sg menurutku amburadul ra menurut tata ruang. dan geliat te masyarakat yang notabene penopang ekonomi bangsa iku yo biasa biasa ae, ra jor2an tur iso diutang. blonjo neng pasar modern dll wis larang tur ra keno diutang. iku intine.(judule belanja di sini bisa diutang)
gambar bal2an iku mgkin wis akeh tapi aku gambare aku tempatkan nang taman sing biasane buat istirahat. juga ada latar belakangnya patung pejuang. yo mungkin iki sing arani style-ku. aku menggambar yng tak kaitkan karo keadaan saiki. ocre

S Tedy Darmawan March 6 at 8:12pm Reply
setelah pameran tugas akirnya...yg saya ingat sekali ketika pembukaan pameran tunggalnya di warung senja (timur cemeti daerah ngasem yg waktu itu menjadi tempat yg menjadi transeter seni kontempore waktu itu dan di tengarai sebagai lawan dari statement TP waktu itu memang TK aktif di lembaga itu sebagai generasi awal) dengan memakai kopyah dan baju batik...nampak sekali perubahan pada diri TotokKonthil dan karyanya karya karyanya berisi pesan pesan yang sangat jelas ala TP dengan plakatismenya....tapi yg perlu di catat adalah keberhasilan karya TK di bandingkan dengan karya exponen TP yg lainya...dengan kesederhanaan dan pilihan gaya visual (entah sebuah pilihan atau sebuah explorasi pada apa yg di kuasainya untuk menjadi bahasa pribadi yg otentik dan orisinal) yg tepat untuk menyampaikan suatu pesan kepada publik (rakyat)
setelah lama TK menghilang lagi ke jakarta kabarnya dan ada kabar dia menikah di mojokerto, kami datang beramai ramai ke pesta pernikahanya (cengengesan kesenengen dia).
tau tau terdengar lagi kabar anknya sudah dua...
beberapa kali saya ke garuda'jakarta ke studio SOMALAENG studio patung dari ibu panggilan Dolorosa Sinanaga...tempat dimana sering ada diskusi para intelektual dan aktifis negeri ini sambil ngebir ngebir...terpaajang sedikit lukisan dan salah satunya adalah lukisan karya TK (menurut bisik bisik kswan seniman yang banyak berkunjung karya TK adalah favorit dari si tuan rumah)....
kebetulan kami sama sama beristri boru batak dan sudah otomatis berlangganan majalah kebudayaan TAPIAN (bisa diperoleh di gramedia) yg disana TK berjabatan sebagai kartunis tepatnya ilustrator....yg menrut saya ndak kalah dengan pri nya tempo....will see....yg saya coba catat disini adalah banyaknya kemajuan TK-seniman setelah bergaul dengan komonitas ataupun lembaga yg mempengaruhi cara berpikir dan pandangan berkesenianya adalah hal yg sangat penting terbukti itu sangat positip ya nggak Til .....

Popok Tri Wahyudi March 7 at 3:20pm Reply
benar.. saya stuju dengan statemen Tedy, pengaruh eksternal ke diri kita ternyata memberi pengaruh yang besar dalam kekaryaan itu sendiri. apalagi dengan berteman yang disiplin dan lintas budaya. memperluas cara pandang kita. bukti otentiknya ya di diri TK. kalau dilihat diperkembangan karya sejak pertama sampai sekarang progress yang terbesar adalah ketika dia TP. konten sosialnya semakin besar.. ada pergerakan dari isu-isu personalnya ke isu sosial di sekililing TK. visual yang dipilih sederhana.. view yang yang diambil ya sederhana juga, namun mengelitik kita.. ada apa dibalik kesederhanaan dari visual yang dipilihnya. saya sih lebih cenderung suka dengan lukisan-lukisan TK yang memotret kehidupan kita sehari-hari.. seperti anak2 main bola, gaya ibu2 ketika berbelanja.. yang kata teddy plakatisme.. tadi yang menurut hemat saya, kalau dijadikan sebuah karya lukis.. gak usah saja. beda soal kalau memang karya itu dibuat khusus untuk keperluan kampanye.. misalnya. kekuatan dan kelebihan TK adalah memang dikesederhaan itu sendiri.. saya berharap saja, kalau dia punya banyak waktu, untuk membuat karya lebih banyak lagi..

Sembilan Dua March 7 at 3:24pm
totok... ni judul,ukuran dan dibuat tahun berapa?.. gimana dong kita membacanya?



Sembilan Dua March 7 at 3:24pm



Sembilan Dua March 7 at 3:25pm



S Tedy Darmawan March 7 at 5:49pm Reply
muantab masbro regane barang to ya :-)

Sembilan Dua March 8 at 6:17am
siiip... ted dengan harga tok... siapa tahu ada yang bisa jual dan beli, persoalan pasca produksi yang oleh kita.. selalu menjadi pakewuh... dan pakewuh..wuh..wuh..

Fajaral Kurniadi March 8 at 8:01pm Reply
Iya bner pok .... apalagi bagi pemula kayak aq, klo ada yang nanya brapa harga lukisanku, aq bingung jawab .... klo kujawab, mreka kmudian hanya bilang " OOOOO ........ Sgitu", Ternyata mreka cuma mo tau aja .... bukan mo beli ..... mesakke yo .....

Fajaral Kurniadi March 8 at 8:04pm Reply
Oya, aq juga stuju .... 'kesederhanaan yang menarik' dari Totok .. keluguan yang kadang "memukul' .....
S Tedy Darmawan March 8 at 9:49pm Reply
spertinya kelakuan totok menyimpang ya dari teman teman sekelas kita ya sepertinya ...apakah teman teman sepakat dengan saya gak ya?

Iwan Wijono March 8 at 10:12pm Reply
Menyimpang dari apa Ted? Klo itu memang proses seniman gak papa, ku belum paham yg dimaksud aja. Ku sama kamu juga sering menyimpang ha ha : ) simpang ke kiri simpang ke kanan, tra la la la ..: ) OK dilanjut...!!

Nugrahanto Widodo March 9 at 9:08am Reply
Asem menyimpang sing piye. anakku yo wis loro. mabuk yo ra okeh2, takon yoyok komo.masalah gondrong cen ra gelem mengko wong2 omong cilik2 gondrong koyo putune gendruwo.......

Iwan Wijono March 9 at 9:15am Reply
anakmu loro toh? wis nikah berarti, lha kuwi nyimpang, maksudnya nikah gak bilang dst : ) berarti kowe karo Fajaral termasuk nikah duluan ya, aku paling terakhir kayaknya, Weye juga ha ha..: D

Popok Tri Wahyudi March 9 at 10:49am Reply
memberi harga itu adalah bagian dari pekerjaan. menjual dan tidak itu sikap.. syah-syah aja memilih diantaranya... simpang kiri dan kanan itu selera.. monggo aja , kalo simpang lima... sepertinya disemarang tidak disini.. balik ke Tedi.. menyimpangnya Totok yang mana? dia tu bocah tua nakal kok... apa yg nakal itu?
bukankah kita semua juga nakal :)

Dipo Andy March 9 at 4:15pm Reply
Nek ukurane nikah itu nakal opo ra nakal;
berarti yang belum nikah itu masih kepengen nakal!!! Ya thoh!!!!!
tp yg udah nikah jg bs nakal ya .., kekekkk...
Iwan Wijono March 9 at 5:55pm Reply
maksudnya nakalnya nya itu nikah gak bilang, anak loro baru dengar sekarang. Tetapi nakal memang manarik, asal tahu & menguasai kenakalan nya..: ) opo kuwi. Om Weye itu gak nikah2 karena nakal atau sadar, sadar sebagai pilihan hidupnya maksudnya. Ku belum nikah tapi gak kesepian kok, tapi koncone lanang kabeh ha ha. Nggak kok, OK deuy lanjut..!!

Fajaral Kurniadi March 9 at 11:41pm Reply
Kalo menyimpang sih nggak bgitu ... cuma mungkin To2' coba2 menyamping kali .............. maksudnya 'mikirnya', bukan kalo lagi gelut sama istri ......

Nugrahanto Widodo March 16 at 5:47pm Reply
Arti menyimpang sama dengan menabung. contohne adi menyimpang uang di bank. tedi menyimpang barang di pegadaian he he he lucu ra?

Nugrahanto Widodo March 16 at 5:59pm Reply
Dibelinya suatu hasil kerja tentu sangat membanggakan.berarti saya merasa karya itu mempunyai " harga". entah itu dilihat dari kualitasnya atau yang lainnya.Untuk saat ini saya pingin pameran dulu setelah saya meninggalkan riuhnya dunia(pasar) seni rupa. Mungkin tidak banyak yang berubah dari lukisan saya tetapi proses pastinya ada. Itulah maksud saya sekarang ini. Kata pak didik kita ini punya mimpi dan lambat laun mimpi itu harus diwujudkan

Iwan Wijono March 17 at 3:35am Reply
ora mudeng aku....: )

Dipo Andy March 17 at 11:32pm Reply
HIDUP PAK DIDIK!!!!!!

Weye Haryanto March 18 at 11:15am Reply
Obrolan khas seniman : impulsif kabeh...ra nyambung ning asyiek... mendem ora mendem tetep wae mendem....Hidup Mendem!!
Nugrahanto Widodo March 18 at 1:28pm Reply
Ha ha ha cen yen mendem asik asik wae to pak de. Neng endi saiki?

Nugrahanto Widodo March 18 at 1:29pm Reply
La endi tedi ki sing melontarkan kata menyimpang

(taken from FB's conversation)